Kisah Perjuangan Nenek Katmini, Gotong Kandang Ayam Puluhan Kilometer untuk Dijual
Sebuah kisah hidup yang luar biasa bagi pasangan lansia berikut, dikarenakan masih rela bekerja keras untuk mendapatkan sebuah penghasilan yang sebenarnya tidak seberapa. Namun, ia masih tetap bersyukur karena bisa mendapatkan penghasilan sendiri seperti itu.
Hidup adalah perjuangan, demikian pula yang dialami Katmini, (65) dan Harun, (70), warga Kampung Cimaung, Desa Kolot, Kecamatan Cilawu, Garut, Jawa Barat, yang satu ini.
Pasangan tua suami-istri itu, sejak tiga dekade lalu berjualan kandang ayam dengan cara dipikul bersama menggunakan sebilah bambu. Mereka rela keluar masuk kampung di wilayah Kecamatan Cilawu, Bayongbong hingga kecamatan Garut Kota, hanya untuk menawarkan kandang ayam hasil olah tangan keduanya.
“Naon deui atuh mung ieu hungkul kamampuan emak (pekerjaan apa lagi, hanya ini kemampuan yang bisa emak lakukan),” ujar Katmini, sambil menyeka keringat yang keluar di dahinya, saat beristirahat di salah satu tanjakan, Kampung Nagara Kulon, Desa Mangkurakyat, Garut, Rabu (5/8/2020) lalu.
Menggunakan sebilah bambu yang melintang tempat membawa kandang ayam, setidaknya seminggu dua kali ia keluar masuk kampung warga, menawarkan barang dagangannya bagi siapa pun yang membutuhkan.
Ia tidak menghiraukan ucapan orang, bajunya yang lusuh dan penutup kepalanya yang sudah usang, tak menghentikan setiap langkah Mak Katmini untuk berjualan, hasil dari produk alam tersebut.
Bahkan sandal jepit bututnya yang ia gunakan, telah berubah warna menjadi hitam, akibat seringnya ia gunakan.
“Biasanya (kandang ayam) dipakai buat (memelihara) ayam pelung, ayam aduan atau kadang dipakai buat kandang Kelinci,” ujar dia, menerangkan fungsi kandang yang biasa dibeli warga.
Bagi sebagian orang, pekerjaan yang dilakoni Mak Karmini dan Mbah Harun itu, memang tidak biasa alias pengecualian, selain berat juga memerlukan fisik yang kuat.
“Pernah jualan yang lain, namun tidak laku, akhirnya jualan lagi kandang,” ujar Harun, sang suami, menambahkan, sambil mengenang perjalanan panjang yang mereka jalani sejak lama.
Menggunakan bahan dasar bambu tua yang dibeli dari perkebunan warga sekitar, satu kandang ayam ia hasilkan, biasanya dikerjakan selama seharian,untuk selanjutnya dijual keesokan harinya.
“Tapi tergatung, jika capek atau sakit, bisa disimpan dulu, baru jualan lagi,” ujanya sambil membetulkan penutup kepalanya.
Untuk satu kandang ukuran setengah meter, dengan tinggi satu meter,
kandang ayam yang ia bawa dijual seharga Rp 50 ribu, sebuah nilai yang
tidak sebanding dengan perjuangan yang mereka keluarkan. Namun bagi
mereka, angka itu tetaplah bernilai.